Rabu, 17 Maret 2010

kontroversi perkembangan terakhir manusia hobbit pulau flores

Pernyataan para pendukung
evolusi bahwa Homo
floresiensis merupakan suatu
spesies tersendiri yang
terpisah dari manusia zaman
modern semakin memudar di
hadapan penentangan yang
semakin menguat. The Times
Online, edisi internet dari
surat kabar The Times dan The
Sunday Times, merangkum
sejumlah perkembangan
terakhir seputar bahasan
tersebut dalam kalimat
berikut:
"Sebuah temuan yang
diumumkan sebagai
penemuan terbesar di
bidang antropologi
selama seabad telah
terpuruk dan menjadi
salah satu sengketa
tersengit di bidang itu."
(1)
Perkembangan yang menyulut
api perselisihan tersebut
adalah adanya para pakar lain
yang mendukung pandangan
para ilmuwan Indonesia yang
berkeberatan atas
dikemukakannya H.
floresiensis sebagai suatu
spesies tersendiri yang
terpisah dari Homo sapiens.
Yang terkemuka dari
sederetan ilmuwan tersebut
adalah ilmuwan Australia Dr.
Maciej Henneberg dan Dr.
Alan Thorne, dan para peneliti
dari Field Museum Chicago di
Amerika.
Sejumlah sanggahan baru,
sebagaimana yang dilontarkan
oleh para ilmuwan Indonesia,
menegaskan bahwa Manusia
Flores mungkin telah
menderita penyakit syaraf
yang dikenal sebagai
microcephaly (kelainan berupa
kepala yang berukuran kecil).
Dukungan penting bagi
pandangan ini datang dari
Profesor Maciej Henneberg,
ilmuwan anatomi dan pakar
palaeopatologi selama 32
tahun. Henneberg, ketua
Departement of Anatomical
Sciences, the University of
Adelaide, Australia, pertama-
tama mengkaji hasil
pengukuran tengkorak
Manusia Flores yang
diterbitkan di situs internet
majalah Nature. Di sinilah
ilmuwan tersebut teringat
akan tengkorak lain dengan
bentuk dan ukuran yang mirip.
Tengkorak tersebut adalah
spesimen Homo sapiens
berusia 4.000 tahun yang
didapatkan dalam penggalian
di pulau Kreta. Tengkorak
milik individu H. sapiens ini
memiliki ukuran agak kecil,
dan para ilmuwan yang
menelitinya telah menjelaskan
fenomena ini sebagai
microcephaly.
Berdasarkan hasil
perbandingan statistik yang ia
lakukan pada 15 hasil
pengukuran tengkorak,
ilmuwan Australia itu
mengungkapkan bahwa
terdapat "perbedaan tidak
nyata" antara keduanya.
Henneberg, yang
sanggahannya diberitakan
dalam jurnal terkenal terbitan
Amerika Serikat Science (2),
menyimpulkan bahwa ukuran
tengkorak Manusia Flores
diakibatkan oleh
microcephaly. Peneliti
tersebut juga menyatakan
bahwa anatomi wajah Manusia
Flores masih dalam batas H.
sapiens.
Pengkajian lain oleh
Henneberg yang mengungkap
hasil mengejutkan tentang
Manusia Flores adalah
perhitungannya tentang tulang
lengan depan (radius) yang
ditemukan di dalam sebuah
gua. Dari panjang tulangnya,
yang ditetapkan sebagai 210
mm (8,3 inci), Henneberg
menghitung bahwa pemiliknya
bertinggi tubuh antara 151 dan
162 cm (4,9 - 5,3 kaki). Angka
ini agak lebih besar daripada 1
meter (3 kaki) yang diduga
merupakan ukuran tinggi
Manusia Flores, dan masih
dalam batas yang dianggap
normal untuk manusia zaman
sekarang. Henneberg
mengumumkan kesimpulan
yang ia capai sebagai hasil
dari penelitian ini:
"Hingga tambahan tulang-
tulang lain dari 'spesies
baru' dugaan ini
diketemukan, saya akan
tetap menyatakan bahwa
suatu kondisi yang sudah
sangat dikenal yang
diakibatkan oleh
penyakitlah yang menjadi
penyebab timbulnya
penampakan khusus dari
rangka tersebut." (3)
Sebagaimana dijelaskan para
ilmuwan, perbedaan dalam
hal ukuran tengkorak maupun
struktur rahang antara
Manusia Flores dan Homo
sapiens dapat dijelaskan
dengan fenomena
microcephaly (kelainan
berupa ukuran kepala yang
kecil).
Peneliti evolusi manusia
terkemuka lainnya, antropolog
Dr. Alan Thorne dari
Australian National University,
menyatakan penemuan
Manusia Flores hanya
memperlihatkan bahwa "tak
seorang pun memperkirakan
sesuatu seperti itu ada di
sana," dan menyebutkan
bahwa adalah melebih-
lebihkan fakta untuk
menyatakan H. floresiensis
mewakili suatu spesies
tersendiri. (4)
Robert Martin, ilmuwan
primatologi dari Field Museum
Chicago, dan arkeolog James
Phillips melontarkan
pernyataan berikut yang
mendukung teori microcephaly
berkaitan dengan volume otak
Manusia Flores yang
berukuran kecil:
"Satu-satunya tengkorak
adalah milik seorang
perempuan yang
menderita microcephaly,
suatu kelainan yang
jarang terjadi yang
berakibat pada kepala
dan otak yang berukuran
kecil. Microcephaly
menyebabkan wajah
tumbuh pada laju yang
normal, tapi kepalanya
tidak. Orang [tersebut]
akhirnya berdahi miring
dan tanpa dagu -- persis
seperti Hobbit." (5)
(Hobbit: Julukan untuk
Manusia Flores yang
diambil dari film The Lord
of the Rings.)
Karena sejumlah sanggahan
ini, tidak beralasannya
penggambaran Manusia Flores
sebagai suatu spesies
tersendiri yang terpisah dari
H. sapiens sekali lagi
terungkap. Pengkajian oleh
Henneberg sudah pasti
berperan besar dalam hal ini:
karena individu H. sapiens
yang berusia 4.000 tahun
dikabarkan telah menderita
kelainan microcephaly, lalu
mengapa Manusia Flores,
dengan ukuran tengkorak
yang sama, digambarkan
sebagai suatu spesies yang
berbeda?
Barangkali penafsiran paling
mencolok tentang debat
seputar Manusia Flores ini
berasal dari Robert Matthews,
seorang penulis ilmu
pengetahuan yang
berpengalaman untuk surat
kabar Inggris The Sunday
Telegraph. Matthews
mendukung gagasan
microcephaly, dan mengecam
keinginan sebagian kalangan
untuk menampilkan Manusia
Flores sebagai suatu spesies
tersendiri. Ia juga mengutip
skandal Manusia Nebraska,
salah satu skandal terbesar
dalam sejarah
paleoantropologi, dalam
mengungkap betapa tidak
beralasannya keinginan itu.
Dengan judul utama "Big
Claims, meagre evidence;
welcome to
palaeontology" (Klaim Besar,
bukti sangat kurang; selamat
datang di palaeontologi),
Matthews menulis:
"Minggu yang lain, dan
perseteruan yang lain lagi
di kalangan ilmuwan
tentang sejumlah tulang
kuno dan pernyataan
tentang telah
ditemukannya suatu
spesies manusia baru
yang lain lagi. Kali ini
perselisihan tersebut
tertuju pada penemuan
tulang belulang berusia
18.000 tahun milik sejenis
manusia dengan tinggi
badan 3 kaki di pulau
Flores, Indonesia.
... para ilmuwan yang
menggalinya telah
menerbitkan makalah di
jurnal Nature,
mengumumkannya
sebagai suatu spesies
baru manusia, dan
memberinya nama Latin
yang terdengar indah:
Homo floresiensis.
Kemudian, sebagaimana
kebiasaan lama, para
ilmuwan lain bermunculan
untuk membantah klaim
tersebut sebagai terlalu
dini. Seorang pakar
terkemuka di bidang
palaeoanatomi
mengatakan kepada
jurnal tandingan Science
bahwa tengkorak berusia
18.000 tahun yang
seukuran dengan jeruk
besar tersebut mirip
dengan tengkorak yang
ditemukan di pulau Kreta
yang merupakan milik
spesimen berusia 4.000
tahun dari jenis Homo
sapiens kuno yang sudah
terlalu sering, dengan
microcephaly sekunder,
suatu keadaan yang
ditandai dengan
tengkorak yang secara
tidak wajar berukuran
kecil.
... Microcephaly sekunder
memiliki banyak sekali
penyebab, mulai dari
infeksi virus selama
kehamilan hingga luka
atau kekurangan gizi
ketika baru lahir.
Spesimen-spesimen
tersebut ditemukan di
sebuah gua di suatu
pulau. Siapakah yang bisa
mengatakan bahwa pulau
itu belum pernah dilanda
wabah virus 18.000 tahun
lalu yang menyebabkan
berjangkitnya kelainan
tersebut? Atau mungkin
penghuni [pulau itu] telah
terkena wabah itu di
tempat lain di gugusan
kepulauan Indonesia, dan
telah diusir ke Flores
karena penampakan
mereka yang aneh.
Atau mungkin saja bahwa
mereka yang mengidap
microcephaly sekunder
dapat bertahan hidup dan
bahkan beranak pinak:
kelainan itu tidak selalu
harus dihubungkan
dengan kecerdasan yang
rendah. Sebenarnya,
[tingkat kecerdasan]
bukan dikarenakan
ukuran otak yang kecil
saja: penentu terpenting
adalah jumlah bagian
[otak yang berwarna] abu-
abu. Karena bagian ini
tidak terawetkan pada
sisa-sisa peninggalan fosil,
kita tidak memiliki
gambaran apakah para
"hobbit" tersebut cerdas,
bodoh atau biasa saja.
Apa yang jelas adalah
bahwa para palaeontolog
terlalu bernafsu
mendasarkan klaim besar
pada bukti yang sudah
dipastikan sangat kurang.
Ini adalah kecenderungan
kuat yang tidak begitu
membantu mereka di
masa lalu. Pada tahun
1922, pakar fosil Amerika,
Henry Fairfield Osborn
menjadi judul utama
pemberitaan dengan
mengumumkan penemuan
tentang apa yang ia
nyatakan sebagai kera
mirip manusia pertama
yang pernah ditemukan di
Amerika, yang ia beri
nama Hesperopithecus
( yang berarti "Ape from
the Land of the Evening
Sun" atau Kera dari
Daratan Matahari Sore").
Ilmuwan anatomi terkenal
Profesor Grafton Elliot
Smith dari London
University melangkah
lebih jauh, ia bersikukuh
bahwa Hesperopithecus
setidaknya merupakan
"anggota paling awal dan
paling primitif dari
keluarga manusia yang
masih dapat ditemukan".
Namun apakah bukti dari
klaim yang lantang ini?
Sebuah gigi tunggal yang
sudah menjadi fosil yang
ditemukan di Nebraska.
Tanggapan Prof Smith
kepada mereka yang
meragukan kearifan
berpegang pada bukti
yang sangat sedikit
sungguh mirip dengan apa
yang kini sedang
dilakukan oleh para
penemu Manusia Hobbit
dari Flores: "Orang akan
memandang kesimpulan
yang demikian sangat
penting dengan
keraguan", ujar Prof
Smith, "jika saja bukan
karena kepakaran para
ilmuwan Amerika di
bidang itu yang tidak
perlu dipertanyakan lagi."
Gertakan itu tidak
menyurutkan langkah the
American Museum of
Natural History untuk
mencari bukti lebih lanjut.
Bukti itu ditemukan di
saat yang tepat di
Nebraska, dan
mengungkap bahwa
"Hesperopithecus" tak
lebih dari seekor babi
punah. Prof Smith di
kemudian hari menjadikan
dirinya tenar dengan
membuat gambar populer
dari manusia Neanderthal
sebagai manusia
berpenampilan dungu
yang sedang mengunyah
tulang, sembari pula
mendukung klaim bahwa
potongan-potongan
tengkorak yang
ditemukan di Inggris pada
tahun 1912 adalah milik
nenek moyang tertua H.
sapiens yang pernah
diketahui. Di kemudian
hari diketahui bahwa
manusia Neanderthal
"khas bikinan" Prof Smith
sebenarnya adalah
seorang pria yang
diketahui pasti tidak
bertubuh normal dan
bungkuk karena
menderita radang sendi.
Sedangkan mengenai
potongan tulang
tengkorak, ternyata
berasal dari sebuah
lubang galian di Sussex
yang dikenal sebagai
Piltdown; kelanjutannya
bisa dipahami.
Tampaknya, tak satu pun
dari kejadian ini
menyurutkan semangat
para palaeontolog untuk
terus mengkhayal tentang
keberadaan lebih banyak
lagi "spesies" di luar
pohon kekerabatan
manusia. Semua yang
dibutuhkan adalah
beberapa potongan tulang
yang tidak biasa ditambah
dengan kamus bahasa
Latin yang bagus, dan
tempat dalam sejarah
palaeontologi pun akan
diperoleh.
Semuanya tampak
bergantung pada bisa
tidaknya potongan tulang
tersebut dianggap "tidak
seperti biasanya"
sehingga berada di luar
batasan spesies mana pun
yang diketahui. Orang
ngeri membayangkan
kesimpulan apa yang
akan dicapai para
palaeontolog jika mereka
diberi tulang belulang
seorang cebol zaman
sekarang dan seorang
penambang minyak dari
Texas." (6)
Kesimpulan:
Fakta yang terungkap melalui
perkembangan ilmiah terkini
tentang Manusia Flores
maupun pelajaran dari sejarah
sebagaimana yang diingatkan
oleh Matthews adalah: Para
ilmuwan evolusionis dan media
massa sama-sama sangat
bernafsu untuk menampilkan
dan memberitakan fosil-fosil
yang baru ditemukan sebagai
spesies baru. Hasilnya, hampir
setiap penemuan fosil
diumumkan dengan
kehebohan dan kegemparan
besar oleh media massa,
meskipun klaim ini lalu dengan
senyap terbantahkan di
kemudian hari.
Perkataan berikut dari Robert
Locke, editor pelaksana
majalah Discovering
Archaeology, tentang
penelitian di bidang
palaeoantropologi adalah
menyerupai gambaran tentang
keraguan dan propaganda
fanatik yang melingkupi
pengkajian di bidang ini:
"Mungkin tidak ada
bidang ilmu pengetahuan
yang lebih banyak
dipenuhi persengketaan
daripada pencarian
tentang asal usul
manusia. Para
paleontolog terkemuka
saling tidak sepakat
bahkan mengenai bagan
paling mendasar dari
pohon kekerabatan
manusia sekalipun.
Cabang-cabang baru
bermunculan di tengah-
tengah keriuhan, hanya
untuk kemudian layu dan
mati di hadapan temuan-
temuan fosil baru." (7)
Akan tetapi, skenario khayal
evolusi manusia, yang
dipertahankan keberadaannya
melalui propaganda, hasutan,
pemutarbalikan fakta dan
bahkan pemalsuan, akan pasti
tersingkirkan di hadapan
penemuan-penemuan ilmiah
modern. Hal ini dikarenakan
temuan ilmiah nyata
mengungkap bahwa kehidupan
terlalu rumit untuk dapat
terbentuk melalui
ketidaksengajaan, dan bahwa
mekanisme mutasi acak dan
seleksi alam tidak dapat
menjelaskan keberadaan
informasi genetik pada DNA
suatu spesies. Klaim evolusi
seputar masalah tersebut
tidak lagi memiliki dasar
ilmiah di hadapan penemuan-
penemuan yang dibuat hampir
setiap harinya. Karenanya tak
dapat dihindarkan, upaya dari
mereka yang meyakini bahwa
memaparkan kisah khayal
tentang masa lampau
berdasarkan kemiripan
antartulang sebagai ilmu
pengetahuan akan berakhir
dengan kegagalan.
Manusia diciptakan oleh Allah,
beserta seluruh perangkat
sempurna pada tubuhnya. Hal
ini dinyatakan Allah dalam Al
Qur'an:
Yang membuat segala
sesuatu yang Dia ciptakan
sebaik-baiknya dan Yang
memulai penciptaan
manusia dari tanah.
Kemudian Dia menjadikan
keturunannya dari saripati
air yang hina (air mani).
Kemudian Dia
menyempurnakan dan
meniupkan ke dalam
(tubuh)nya roh (ciptaan)-
Nya dan Dia menjadikan
bagi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati;
(tetapi) kamu sedikit
sekali bersyukur. (Al
Qur'an, 32: 7-9)
Keterangan gambar:
Sebagaimana dijelaskan para
ilmuwan, perbedaan dalam hal
ukuran tengkorak maupun
struktur rahang antara
Manusia Flores dan Homo
sapiens dapat dijelaskan
dengan fenomena
microcephaly (kelainan berupa
ukuran kepala yang kecil).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar