Rabu, 27 Januari 2010

DEMAKKU KOTA SEJARAH

PhotobucketKurang lebih 6 (enam) abad
silam, berdasarkan letak
geografisnya, kawasan yang
bernama Demak ternyata
tidak terletak di pedalaman
yang jaraknya lebih kurang 30
km dari bibir laut Jawa seperti
sekarang ini. Kawasan
tersebut pada waktu itu
berada di dekat Sungai
Tuntang yang sumbernya
berasal dari Rawa Pening.
Geografi kesejarahan
mengenai kawasan Demak
dapat pula dibaca di buku
Dames, yang berjudul “The
Soil of East Central
Java” (1955). Dalam buku
tersebut dijelaskan bahwa
Demak dahulu terletak di tepi
laut, atau lebih tepatnya
berada di tepi Selat
Silugangga yang memisahkan
Pulau Muria dengan Jawa
Tengah.
Mengenai ekologi Demak,
DR.H.J. De Graaf juga menulis
bahwa letak Demak cukup
menguntungkan bagi kegiatan
perdagangan maupun
pertanian. Hal ini disebabkan
karena selat yang ada di
depannya cukup lebar
sehingga perahu dari
Semarang yang akan menuju
Rembang dapat berlayar
dengan bebas melalui Demak.
Namun setelah abad XVII
Selat Muria tidak dapat
dipakai lagi sepanjang tahun
karena pendangkalan.
Tanggal 28 Maret 1503
ditetapkan sebagai hari jadi
Kabupaten Demak. Hal ini
merujuk pada peristiwa
penobatan Raden Patah
menjadi Sultan Bintoro yang
jatuh pada tanggal 12
Rabiulawal atau 12 Mulud
Tahun 1425 Saka
(dikonversikan menjadi 28
Maret 1503).Dalam Babat
Tanah Jawi, tempat yang
bernama Demak berawal dari
Raden Patah diperintahkan
oleh gurunya (Sunan Ampel)
agar merantau ke Barat dan
bermukim di sebuah tempat
yang terlindung hutan/
tanaman Gelagah Wangi
letaknya berada di Muara
Sungai Tuntang yang
sumbernya berada di lereng
Gunung Merbabu (Rawa
Pening).
Menurut Prof. Soetjipto
Wirjosoeprapto, setelah hutan
Gelagah Wangi ditebang dan
didirikan tetrukan
(pemukiman), baru muncul
nama Bintoro yang berasal
dari kata bethoro (bukit suci
bagi penganut agama hindu).
Pada kawasan yang berada di
sekitar muara Sungai Tuntang,
bukit sucinya adalah Gunung
Bethoro (Prawoto) yang
sekarang masuk daerah
Kabupaten Pati.
Menurut beberapa sumber
lain menyebutkan bahwa
nama bintoro diambil dari
nama pohon Bintoro yang dulu
banyak tumbuh di sekitar
hutan Gelagah Wangi. Ciri-ciri
pohon Bintoro mulai dari
batang, daun dan bunganya
mirip dengan pohon kamboja
(apocynaceae), hanya saja
buahnya agak menonjol
seperti buah apel.
Ada beberapa pendapat
mengenai asal nama kota
Demak, diantaranya :
Prof.DR. Hamka menafsirkan
kata Demak berasal dari
bahasa Arab “dama” yang
artinya mata air. Selanjutnya
penulis Sholihin Salam juga
menjelaskan bahwa Demak
berasal dari bahasa Arab
diambil dari kata “dzimaa in”
yang berarti sesuatu yang
mengandung air (rawa-rawa).
Suatu kenyataan bahwa
daerah Demak memang
banyak mengandung air;
Karena banyaknya rawa dan
tanah payau sehingga banyak
tebat (kolam) atau sebangsa
telaga tempat air tertampung.
Catatan : kata delamak dari
bahasa Sansekerta berarti
rawa.
Menurut Prof. Slamet
Mulyono, Demak berasal dari
bahasa Jawa Kuno “damak”,
yang berarti anugerah. Bumi
Bintoro saat itu oleh Prabu
Kertabhumi Brawijaya V
dianugerahkan kepada
putranya R. Patah atas bumi
bekas hutan Gelagah Wangi.
Dasar etimologisnya adalah
Kitab Kekawin Ramayana
yang berbunyi “Wineh Demak
Kapwo Yotho Karamanyo”.
Berasal dari bahasa Arab
“dummu” yang berarti air
mata. Hal ini diibaratkan
sebagai kesusahpayahan para
muslim dan mubaligh dalam
menyiarkan dan
mengembangkan agama islam
saat itu. Sehingga para
mubaligh dan juru dakwah
harus banyak prihatin, tekun
dan selalu menangis (munajat)
kepada Allah SWT memohon
pertolongan dan perlindungan
serta kekuatan.
Demak merupakan
Kasultanan ketiga di
Nusantara atau keempat di
Asia Tenggara. Ibukotanya
Demak yang sekaligus
digunakan sebagai pusat
pemerintahan dan pusat
penyebaran agama Islam yang
diprakarsai oleh para Wali
(Wali Songo). Ketika orang
Portugis datang ke Nusantara,
Majapahit yang agung sudah
tidak ada lagi. Menurut
catatan pada tahun 1515
Kasultanan Bintoro sudah
memiliki wilayah yang luas
dari kawasan induknya ke
barat hingga Cirebon.
Pengaruh Demak terus meluas
hingga meliputi Aceh yang
dipelopori oleh Syeh Maulana
Ishak (Ayah Sunan Giri).
Kemudian Palembang, Jambi,
Bangka yang dipelopori
Adipati Aryo Damar (Ayah Tiri
Raden Patah) yang
berkedudukan di Palembang;
dan beberapa daerah di
Kalimantan Selatan,
Kotawaringin (Kalimantan
Tengah). Menurut hikayat
Banjar diceritakan bahwa
masyarakat Banjar dulu yang
meng-islam-kan adalah
penghulu Demak (Bintoro) dan
yang pertama kali di-islam-
kan adalah Pangeran Natas
Angin yang kelak dimakamkan
di Komplek Pemakaman
Masjid Agung Demak. Di
daerah Nusa Tenggara Barat
perkembangan agama Islam
dipelopori oleh Ki Ageng
Prapen dan Syayid Ali
Murtoko, adik kandung Sunan
Ampel yang berkedudukan di
Bima.
Pada masa Kasultanan Demak
diperintah oleh Sultan
Trenggono, wilayah nusantara
benar-benar dapat
dipersatukan kembali.
Terlebih lagi dengan adanya
Fatahillah, Putera Mahkota
Sultan Samodera Pasai yang
menjadi menantu Raden
Patah. Dialah yang berhasil
mengusir orang-orang
Portugis dari kota Banten dan
berhasil menyatukan kerajaan
Pasundan yang sudah rapuh.
Dengan demikian seluruh
pantai utara Jawa Barat
sampai Panarukan Jawa Timur
(1525-1526) dikuasai oleh
Kasultanan Bintoro.
Sementara itu Kediri takluk
pada tahun 1527 yang
berturut-turut kemudian
diikuti oleh kawasan yang ada
di pedalaman. Sampai
akhirnya Blambangan yang
letaknya berada di pojok
tenggara Jawa Timur
menyerah tahun 1546.
Disinilah Sultan Trenggono
gugur di medan pertempuran
ketika berhadapan dengan
Prabu Udoro (Brawijaya VII).
Bukti sejarah masa kejayaan
Kasultanan Bintoro adalah
Masjid Agung Demak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar